Bicara Layar Kaca #8: Azab (2018)
Premis yang pasaran, anehnya, bikin Azab tampil nyentrik; meninggalkan kompetitor yang membawakan cerita serupa. Terima kasih Indosiar.
Berterimakasihlah para pekerja TV pada majalah Hidayah. Tanpanya, mungkin berserakannya acara televisi berisi cerita kejadian-kejadian di luar nalar yang pasti mewafatkan sang antagonis ini tidak akan terus awet sampai sekarang. MD Entertainment adalah pencetus cerita ala Hidayah seperti ini, melalui sinetron berjudul sama (2005), plus Taubat (2005) untuk versi alternatifnya. Di era pertelevisian modern pun juga sama: Jodoh Wasiat Bapak (2017) jadi pelecut pegiat televisi lain memunculkan sinetron dengan premis yang tak jauh beda. Mega Kreasi Films yang malang melintang dengan film televisi satu-episode-selesai nan serba absurd tak mau ketinggalan mencicipi berkah premis ini. Anehnya, mereka yang “mengekor” premis klasik ini malah ketiban untung lebih dari JWB.
Jika JWB memiliki semesta tokoh utama yang tampil reguler di setiap episodenya, Azab tampil sedikit berbeda. Mencontoh produk MKF sejenis macam Kisah Nyata (2014) dan Pintu Berkah (2017), semua pemain, tim produksi, bahkan penulis naskah cerita semuanya bisa berubah sesuai yang MKF mau. Ya iyalah, kan satu episode langsung jadi. Satu yang pasti, MKF mengambil latar wilayah perdesaan (sepertinya di sekitaran) pegunungan Bogor, Jawa Barat, agar latar ceritanya dikisahkan melekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Oh iya, jangan harap setan-setanan hadir di Azab. Menyalin total JWB itu namanya.
Tampil perdana 1 Juli 2018 lalu, setiap episode Azab datang dengan cerita super pasaran: di awal episode sang antagonis langsung dihujani kemalangan sampai wafat. Belum selesai, jenazahnya pun terus dihujani hal-hal di luar nalar kita, bahkan sampai menjelang dikubur. Untuk itulah, satu di antara pihak terdekat sang antagonis (pasti) menceritakan kembali ke pada masyarakat yang mengiringi jenazah soal apa yang sebenarnya terjadi pada sang antagonis. Setelah kronologi mengapa sang antagonis bisa sejahat itu dituturkan selama paruh kedua cerita, Azab ditutup dengan pengulangan siksa sang antagonis, bahkan parade siksa ini masih terus berlanjut hingga jenazah sang antagonis sudah masuk liang lahat. Saking asiknya, tiba-tiba muncul teks kredit lagu “Bila Tiba” dan “Sesungguhnya” yang dilantunkan grup musik Ungu. Acara pun berakhir.
Iya, selesai. Tidak ada simpulan bagi pemirsanya untuk mengambil faidah dari parade siksa sang antagonis supaya kita jangan sampai melakukan hal yang sama, itupun kalau kita luput untuk khilaf.
Begitu terus premis cerita film televisi ini. Penulis cerita dari “Tim Penulis MKF” tinggal menggantinya dengan kasus apa saja. Mau kisah yang pernah adanya, mengarang, atau ide liar yang mengawang di kepala sekalipun bisa jadi satu episode tersendiri. Azab bagi sang antagonisnya pun bisa dikombinasikan sesuka hati, mau yang rasional, sampai yang ekstrem bisa banget dimasukkan.
Oh iya. Jangan lupakan subjudul Azab yang panjangnya lebih dari judul tugas akhirmu. Ini nih yang bikin Azab menjadi subjek yang patut kita sebagai penonton kritisi (kalau tidak mau dikatakan yang tidak-tidak karena takut dosa nantinya). Contohnya:
Dan maaaasih banyak lagi.
Apa sih yang kita harapkan untuk karya pertelevisian kita yang sudah jatuh di titik nadir dengan premis seperti ini? Hehehe…
Nilai plus
Premis sudah pasaran. Eksekusi juga yang penting bisa tayang (setidaknya mereka modal CGI dengan modal seadanya). Pemainnya bisa ambil dari mana saja, bahkan orang yang ada di lokasi syuting sekalipun. Terus apa yang bikin Azab menerbangkan Indosiar di primetime dibanding acara sejenis?
Modal Azab sudah dipupuk sejak dini, bahkan saat MKF belum terpikir menbuat FTV ini. Indosiar adalah TV yang setengah harinya diisi dengan program FTV. Penonton mereka loyal sejak pagi. Mereka pun akan terus setia menonton FTV yang dramanya sesuai dengan kepuasan hati mereka, bahkan sampai tengah malam sekalipun. Mau ceritanya klise sekalipun, mereka tetap akan tonton. Berterimakasihlah pula pada Harsiwi Achmad, empu Indosiar yang juga mengatur sektor media Emtek melalui Surya Citra Media. Mengubah total kesan Indosiar yang berisi karangan dongeng bebas dengan CGI super buruk (acara ini CGI-nya juga sebelas dua belas tapi :(. Sama aja dong)menjadi TV dangdut dan maraton FTV sejak 2014 menjadi kuncinya. TV ini pun hingga saat ini terus konsisten dengan FTV bergenre konflik rumah tangga, kisah dari jongos jadi bos, azab, ditambah acara dangdut hingga genap 24 jam nonstop. Tanpa kartun.
Since you are here, visit some good opinions about our “funny” television regimes.
Modal ini inilah yang menjadikan Azab bisa merebut pasar azab-azaban lain yang sebelumnya dipegang JWB antv dan sinetron sejenis di TV yang dahulu kadung lekat dengan sinetron Indianya. MNCTV yang pasar India dan dangdutnya direnggut pun tak mampu mendapat efek turunan Azab. Kuasa Ilahi (2018) dan dilanjutkan dengan Dzolim (2018) yang tayang perdana kurang lebih sebulan kemudian tak mampu menarik minat penonton setara Azab. Penyebabnya, MNCTV tidak punya modal penonton sekuat Indosiar akibat segmentasi penonton yang masih abu-abu. Percayalah, program televisi yang ikut-ikutan pun sebagian besar berakhir gagal; sebuah fenomena jamak di pertelevisian kita.
Yang jelas, Azab unggul jauh dengan acara sejenis, walaupun ceritanya sama dengan yang lain. Keuntungan TV penayang dan rumah produksi yang memang spesialis program sejenis ini bikin Azab masih awet, setidaknya sampai saat ini.
Iya, walaupun kita selalu ingat bahwa “mau ketawa tapi takut dosa”. Hwww….
P.S.: You’ve still missed the old Indosiar, right? Me too. (*)
Azab
Genre: Film televisi
Durasi: 60–120 menit tergantung kebutuhan
Format gambar: 16:9 HD
Tayang sejak: 1 Juli 2018-sekarang
Pemain: Suka-suka
Kru: Suka-suka
Produser eksekutif: Soebagio Samtani
Produser: Sonu Samtani, Sonya Mukhi Samtani, Shalu Mulani
Sutradara: Suka-suka
Rumah produksi: Mega Kreasi Films
Stasiun televisi: Indosiar
Informasi rumah produksi: megakreasifilms.com (belum aktif hingga tulisan ini naik cetak) / Instagram / Youtube