Mempertanyakan Voli #2: Beginilah Sistem Liga Bola Voli di Indonesia
Mana yang lebih tinggi? Proliga atau Livoli?
Setiap sebuah kompetisi bola voli tingkat nasional akan diselenggarakan, selalu akan ada pertanyaan yang muncul di masyarakat menjelang tiupan pertama peluit wasit dibunyikan:
Berterimakasihlah pada media sosial dan televisi yang makin rajin menyiarkan olahraga tepok bola ini. Perlahan tapi pasti, masyarakat kembali tersegarkan pikirannya bahwa selama ini ada kompetisi lain di luar kompetisi bola voli yang sudah kadung dikenal masyarakat.
Keberadaan Proliga sebagai kompetisi profesional seakan memberi cap bahwa pervolian kita ditopang oleh kompetisi ini. Namun, sebelum tahun 2020 masyarakat menaruh atensi sangat minim terhadap Livoli beserta tingkatan kompetisinya. Kompetisi ini kemudian menjadi landasan bagaimana Proliga ini dapat menjadi kompetisi profesional, bahkan melampaui “nama yang baru didengar” ini.
Soal akar sejarahnya, penulis sempat memberi cuplikan bagaimana Proliga lahir dari rahim Livoli ini. Sebagai ringkasan, pada awal 1990-an PBVSI sebagai federasi bola voli tunggal di Indonesia mendirikan kompetisi khusus bagi anggota klub federasi untuk merapikan kompetisi yang dahulu masih diinisiasi oleh pengurus provinsi dan swasta. Kompetisi ini dilaksanakan selang-seling per tahun, Liga Bola Voli Indonesia (Livotama) pada 1990 dan diselingi Liga Bola Voli Antarkaryawan (Livokarya) setahun setelahnya. Pada 1999, kedua kompetisi ini digabung menjadi Livoli saja, dan (tercatat di internet) pada 2006 muncullah Livoli Divisi I (Satu) sebagai pengembangan kompetisi, seiring Livoli yang kini berkembang menjadi Livoli Divisi Utama. Anjloknya prestasi timnas bola voli di SEA Games 2001 membuat PBVSI menginisiasi Proliga sebagai kompetisi profesional. Hingga artikel ini mengudara, ketiga kompetisi ini berjalan beriringan dalam lingkup kompetisi oleh federasi. Detail dan temuan kompetisi ini bisa Anda baca pada tulisan di tautan di atas.
Livoli dan Proliga dari Sebalik Tabir Informasi Minimalis
Sebelum 2020, kedua kompetisi ini terdengar asing di masyarakat apabila dibedakan. Proliga kadung dikenal sebagai kompetisi bola voli nasional terbesar dengan klub dan pemain yang mentereng. Sedangkan, Livoli tertinggal jauh, menjadikannya sebagai kompetisi untuk menjaga kebugaran para pemain bintang — macam tarkam. Padahal, keduanya memiliki tujuan kompetisi yang jelas apabila masyarakat mengetahui perbedaannya.
Butuh waktu sampai pada tahun 2020 hingga seorang penulis blog anonim atas nama SuarApi mencoba membedah perbedaan kedua kompetisi ini. Pada sebuah kiriman yang terbit pada 12 September 2020–11,5 tahun setelah Proliga dimulai. Sangat lama, bahkan pada rentang tahun tersebut hampir tidak ada yang mencoba menyisir perbedaannya. Niat beliau cukup jelas, menyajikan kepada pembacanya perbedaan kedua kompetisi ini dari segi latar belakang kompetisi ini, format kompetisi, durasi, jumlah tim beserta pembagian pulnya, dan tujuan kompetisinya. Sepertinya riset yang dilakukan cukup komprehensif, terlepas dari minimnya informasi saat itu.
Informasi yang disajikan memang perlu perbaikan, hingga akun media sosial pro-voli lokal Volinesia pada pertengahan 2021 mencoba menjelaskannya dalam bentuk video. Berformat bak The Shiny Peanut, penonton diajak memahami perbedaan kompetisi tersebut dari segi tim yang mengikutinya, sistem kompetisi yang memuat jumlah klub peserta, lokasi pertandingan, sistem promosi dan degradasi, dan pemain yang berhak mengikuti kompetisi ini.
Yang menarik, amatan dari video tersebulah yang menjadi rujukan banyak wartawan dalam menulis perbedaan antara kedua kompetisi ini di situs berita mereka. Tulisan wartawan ini pun menjamur menjelang Livoli dibangkitkan dari kubur pada September 2022. Apakah terlambat? Tentu tidak. Justru masyarakat akan lebih bisa memahami perbedaan antara Proliga dan Livoli ini sehingga tidak salah fokus apabila musim kompetisi terbaru dari salah satu kompetisi ini digelar.
Psstt… ini termasuk saat saya merintis lema tersebut di WBI. Coba pahami kembali.
Perbedaan Livoli dan Proliga
Karena sudah sangat banyak tulisan yang mencoba membedah apa perbedaan Proliga dan Livoli (seperti ini, ini, atau ini), penulis merangkum seluruh perbedaan tersebut menjadi bullets sederhana.
- Format kompetisi: Livoli memiliki dua tingkat kompetisi, yakni Livoli Divisi Utama di tingkat tertinggi dan Livoli Divisi I di tingkat terendahnya. Mirip liga sepak bola kita, akan ada promosi dan degradasi di kedua kompetisi ini, jadi ini memecut tim peserta di salah satu kompetisi tersebut untuk tampil sebaik mungkin. Ini tidak terjadi di Proliga, di mana semua tim boleh mengikutinya asal ada jaminan uang yang cukup agar dapat bertahan di kompetisi. Degradasi dan kompetisi nihil di Proliga.
- Durasi: Karena ada dua tier kompetisi, Livoli Divisi I biasanya digelar terlebih dahulu dengan durasi kompetisi umumnya hanya seminggu. Livoli Divisi Utama (sebelum 2022 hanya sepekan saja) bisa berjalan hingga 1,5 bulan karena tim peserta harus menjalani beberapa babak. Proliga? Mirip liga sepak bola, kompetisinya full dalam sistem kompetisi grup penuh — menggunakan “skema kandang-tandang” plus final four, sehingga baru bisa selesai dalam 2–3 bulan.
- Lokasi pertandingan: Kalau di Livoli Divisi I dan Divisi Utama sebelum 2022, lokasi pertandingannya cuma ada di 1 GOR saja di satu kota. Kebijakan ini berubah buat Livoli Divisi Utama sejak 2022 di mana lokasi pertandingannya lebih banyak, bisa tiga kota/kabupaten per musimnya. Proliga? Apalagi. Per pekan bisa keliling-keliling di banyak kota, tergantung tuan rumah klubnya. Hanya saat final four saja saat tuan rumahnya ditunjuk oleh federasi.
- Tim peserta: Tim apa pun, selama ada uangnya, bisa ikut Proliga. Klub tersebut tidak harus menjadi anggota klub di kepengurusan PBVSI setempat. Jika klub tersebut mau tampil di Livoli, klub ini harus menjadi anggota federasi di tingkat provinsi sebelum tampil di kejuaraan provinsi sebagai syarat maju ke Livoli Divisi I. Soal ini akan didetailkan di bawah nantinya.
- Pemain: Livoli diharapkan diikuti oleh pemain hasil pembinaan klub bersangkutan. Jadi, jangan heran kalau pemain binaan klub tersebut ditarik menjadi pemain di klub lain di Proliga. Alasan itulah yang turut membuat Livoli tidak memperbolehkan pemain asing untuk tampil, berkebalikan dengan Proliga.
Tinggian Proliga atau Livoli?
Setelah memahami perbedaannya, lantas kita semua kembali ke pertanyaan dasar-dasar seperti:
“Mending ikut Proliga atau Livoli?”
“Bulan lalu ada Livoli deh. Kok sekarang ada lagi?”
“Apakah tim yang ikut Livoli boleh ikut Proliga?”
“Juara Livoli yang satu ini apakah bisa ke Proliga?”
dan lain sebagainya. Inilah yang membuatku sempat terkendala dengan membuat tiering kompetisi ini, mengingat kedua kompetisi ini berjalan bersamaan dan sama-sama diakui federasi.
Oke, mari kita sama-sama asumsikan Proliga berada di atas Livoli. Alasannya, liga ini memiliki durasi lebih panjang, klub yang mentereng, dan ada pemain asingnya. Itu artinya, Livoli berada di bawah liga tersebut.
Yaa, walaupun tidak ada promosi dan degradasinya, telaahku menunjukkan bahwa kedua kompetisi ini sulit untuk dapat disatukan*, mengingat tujuan kompetisinya yang betul-betul lain. Jika Proliga menjadi sebuah kompetisi profesional sebagai tempat berjuangnya para pemain voli yang kita kenal, ini berbeda dengan Livoli dengan kasta-kastanya, yakni untuk mencari para pemain asli pembinaan klub atau sekolah bola voli bersangkutan. Itu sebabnya, penulis membagi kasta kompetisi menurut tipe kompetisinya, yakni kompetisi amatir, kompetisi profesional, dan kompetisi lainnya.
Kompetisi amatir adalah piramida tradisional dari sistem liga bola voli di Indonesia. Kompetisi ini berjenjang, mulai dari tingkat kompetisi paling rendah yakni Kejuaraan Tingkat Provinsi/Kejuaraan Daerah Antarklub yang diselenggarakan Pengurus Provinsi PBVSI. Soal tim yang mengikuti dan sistem kompetisinya, Pengprov betul-betul bermain di sini. Kita sebagai penikmat hanya tahu bahwa kompetisi ini jalan secara rutin, syukur-syukur tidak ada dramanya, dan kita bisa mengetahui bakat-bakat pevoli kita yang tersembunyi di balik kejuaraan-kejuaraan ini.
Dari sana, Pengprov kemudian mempersiapkan tim-tim terbaik di Kejurprov tersebut sebagai perwakilan provinsi pada Livoli Divisi I. Inilah kompetisi kasta kedua bola voli kita yang akan mempertarungkan puluhan tim bola voli putra dan putri dari seluruh perwakilan Pengprov yang mendaftar. Yang menarik, selain pertimbangan dari hasil di Kejurprov, tim bisa ditunjuk langsung untuk mengikuti kompetisi. Yang jelas, tim-tim yang bertanding di kompetisi ini harus menjadi yang terbaik sehingga bisa promosi ke Livoli Divisi Utama. Kalau gagal? Bisa turun kembali ke Kejurprov di musim selanjutnya atau “kembali menjalani kehidupan seperti biasanya”.
Kompetisi Livoli Divisi Utama menjadi puncak dari piramida kompetisi bola voli amatir kita. Dengan format babak pul hingga final four, rasanya kompetisi ini adalah Proliga versi ekspres. Tim amatir papan atas dipadu dengan ancaman degradasi jika penampilan mereka tidak baik, ini jelas sebuah format kompetisi bola voli yang seru.
Inilah yang tidak dimiliki Proliga sebagai kompetisi profesional. Memang, Rita Soebowo yang saat itu menjadi Ketua Umum PBVSI meluncurkan liga ini karena format Livoli yang ada kurang kompetitif — konon ini merupakan salah satu faktor anjloknya prestasi timnas voli pada SEA Games 2001. Dengan fitur pemain profesional dan tanpa degradasi, liga ini berada pada lingkup kasta khusus bila dibandingkan dengan Livoli dengan piramidanya. Juara atau finalis Livoli Divisi Utama pun tidak akan bisa promosi ke Proliga, vice versa, karena perbedaan sistem tersebut. Tim tersebut, alih-alih, dapat mendaftarkan diri sebagai peserta kompetisi tersebut, asal ada uang dan jaminan bahwa tim tersebut awet selama dua musim di Proliga. Uang selalu benar.
Bagaimana jika tim tersebut ingin main di Livoli? Silakan mulai dari bawah. Seperti LavAni, klub milik Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Sukses di Proliga 2022, tim ini harus menjalani laga di Kejurda Antarklub Jabar 2022 sebelum mereka lolos ke Livoli Divisi Utama 2023. Besar kemungkinan, klub yang eksklusif di Proliga harus menjalani tahapan yang sama dengan LavAni sebelum tampil di kasta tertinggi kompetisi amatir.
Bagaimana dengan kompetisi lainnya? Sejak 2023, PBVSI menggulirkan Kapolri Cup, kompetisi bola voli antarkepolisian daerah. Vakum sejak 2010, kompetisi ini tidak terkait dengan kedua sistem kompetisi profesional dan amatir tersebut berhubung Kapolri Cup ini mirip seperti PON yang diwakilkan oleh tim bola voli provinsi. Sebelumnya, PBVSI juga menggulirkan Kejuaraan Bola Voli Junior U-19 yang diikuti oleh tim bola voli antarprovinsi. Ada juga Kejuaraan Nasional Antarklub U-17 yang diikuti oleh klub dan sekolah bola voli dengan pemain maksimal berumur 17 tahun. Kejuaraan ini juga didukung oleh beberapa kompetisi lain yang diinisiasi oleh pengprov atau pihak lain yang kita kenal sebagai tarkam atau aneka piala lainnya.
Dengan demikian, inilah sistem kompetisi bola voli kita. Sistematikanya sudah cukup jelas, dimulai dari level paling bawah hingga teratas, baik amatir maupun profesional. Sistem tersebut tentu dapat dievaluasi dan diubah total oleh federasi. Apa pun langkahnya, yang jelas ini menjadi jalan bagi perbolavolian kita yang berprestasi dan minim drama di kompetisi internasional. Niscaya, artikel ini sedikit mencerahkanmu yang masih membedakan Proliga dan Livoli. Awas, jangan salah fokus lagi ya.(*)
Masih banyak unek-unek lain soal bola voli nasional yang belum tercurahkan di sini. Seri #MempertanyakanVoli akan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan. Stay tuned.
N.B.
*) Per 23 Oktober 2023. Tidak menutup kemungkinan sistem kompetisi ini akan berubah sesuai kebijakan federasi.